Manipulasi Ekspor Sawit Terbongkar: DJP Temukan Kode HS Limbah dan Moral Hazard Biofuel CPO
Temuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali membuka tabir lama yang selama ini hanya dibisikkan: manipulasi sistematis dalam perdagangan komoditas strategis Indonesia. Pencocokan data perdagangan internasional menunjukkan nilai ekspor sawit dan minerba yang dilaporkan negara tujuan jauh lebih besar dibanding laporan wajib pajak di dalam negeri.
Ketika Data Membuka Tabir Manipulasi
Ini bukan sekadar selisih statistik. Ini indikasi kuat praktik under invoicing—pelaporan nilai ekspor lebih rendah untuk menghindari pajak dan bea keluar.
Yang paling mencolok, DJP mengungkap 87 kontainer sawit diekspor dengan kode HS “limbah”, sehingga bebas bea keluar, padahal muatannya adalah produk sawit bernilai tinggi. Jika benar, ini bukan kesalahan administratif. Ini adalah rekayasa dokumen.
Manipulasi Bukan Insiden, Tapi Sistem
Dalam industri sebesar sawit, kesalahan sporadis hampir mustahil terjadi tanpa pola. Penggunaan kode HS yang salah secara massal menunjukkan pemahaman yang sangat teknis atas celah regulasi. Artinya, ada aktor yang tahu persis apa yang mereka lakukan—dan merasa cukup aman untuk melakukannya.
Pertanyaannya sederhana:
Bagaimana praktik semacam ini bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa terdeteksi, sementara negara justru terus menyuntikkan subsidi?
Biofuel Sawit: Dari Solusi Energi ke Moral Hazard
Di ruang kebijakan, biofuel berbasis crude palm oil (CPO) dipromosikan sebagai solusi strategis: mengurangi impor BBM, menjaga ketahanan energi, dan mendukung transisi hijau. Namun realitas fiskalnya jauh lebih problematik.
Produksi biodiesel dari CPO tidak pernah kompetitif tanpa subsidi. Harga CPO mengikuti pasar global, sementara harga energi domestik ditekan demi stabilitas sosial. Selisihnya ditutup APBN melalui subsidi dan insentif fiskal.
Negara, dalam skema ini, bukan pelaku pasar yang rasional, melainkan penjamin keuntungan industri.
Narasi Biofuel Sawit: Solusi atau Ilusi?
Di ruang publik, biofuel berbasis crude palm oil (CPO) kerap dipromosikan sebagai solusi strategis: kemandirian energi, pengurangan impor BBM, dan bagian dari transisi energi hijau. Namun, di balik narasi tersebut, kebijakan biofuel sawit menyimpan persoalan struktural yang serius.
Secara ekonomi, produksi biodiesel dari CPO tidak pernah benar-benar kompetitif tanpa subsidi negara. Harga CPO mengikuti pasar global, sementara harga energi domestik dijaga rendah demi stabilitas sosial. Selisih ini ditutup melalui subsidi dan insentif fiskal dari APBN.
Akibatnya, negara berperan bukan sebagai pembeli yang efisien, melainkan sebagai penjamin margin keuntungan industri.
Subsidi untuk Siapa?
Nilai tambah utama biofuel sawit tidak mengalir ke petani. Ia terkonsentrasi pada pemilik kilang (refinery) dan trader terintegrasi—umumnya bagian dari konglomerasi besar. Petani tetap berada di posisi terlemah, sementara risiko fiskal ditanggung publik.
Lebih buruk lagi, industri yang disubsidi ini justru terindikasi menghindari kewajiban pajak.
DMO, Disparitas Harga, dan Insentif Curang
Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) menciptakan disparitas harga domestik dan ekspor yang lebar. Harga dalam negeri ditekan, harga ekspor mengikuti pasar global. Selisih ini membuka ruang:
-
transfer pricing
-
under invoicing
-
manipulasi dokumen
-
penyelundupan fisik
Dalam ekosistem seperti ini, kepatuhan pajak menjadi beban, bukan norma. Moral hazard tumbuh subur karena risikonya rendah, sementara keuntungannya besar.
Paradoks Kebijakan Negara
Inilah paradoks biofuel sawit Indonesia:
Negara mensubsidi energi, tetapi kehilangan penerimaan.
Negara melindungi industri, tetapi menanggung kebocoran fiskal.
Subsidi mengalir ke hulu dan hilir, sementara penerimaan bocor di pintu ekspor. Jika ini dibiarkan, negara akan terus mengulangi siklus mahal: menopang industri yang tidak efisien sambil menutup mata terhadap praktik curang.
Energi Hijau atau Rente Hijau?
Transisi energi seharusnya mengurangi beban fiskal dan mendorong inovasi. Namun jika biofuel sawit justru memperbesar subsidi, memperlebar rente, dan membuka ruang manipulasi perdagangan, maka masalahnya bukan teknis—melainkan struktural.
Tanpa penegakan pajak yang tegas, koreksi distorsi DMO, dan keberanian mengakui bahwa biofuel sawit adalah solusi sementara, bukan masa depan, negara hanya sedang menunda krisis dengan biaya yang terus membengkak.
Dalam kondisi seperti ini, yang benar-benar hijau bukanlah energinya—melainkan keuntungan segelintir pihak.
Iam a master of education from one of the state universities in Yogyakarta, has a writers and travelling hobby in wordpress or blogger platform, I Have stayed at Raja Ampat and Yogyakarta City, You can Connect Me in Bingkai Berita| Belajar Internet|Travel and Kuliner