Jaksa Agung Tidak Ada Flexing di Era Digital
Bingkaiberita.com – Flexing menjadikan seseorang Di era media sosial yang serba pamer, pesan “jasa agung tidak ada flexing” menjadi peringatan penting bagi para aparatur negara. Bukan sekadar larangan untuk tampil mewah, tapi simbol dari komitmen menjaga kepercayaan publik, etika, dan kesederhanaan di tengah sorotan masyarakat digital.
Apa Itu Flexing dan Mengapa Dilarang?
Istilah flexing berarti kebiasaan memamerkan kekayaan, jabatan, atau gaya hidup mewah demi menunjukkan status sosial.
Dalam dunia modern, perilaku ini sering terlihat di media sosial — mulai dari unggahan barang bermerek, perjalanan luar negeri, hingga kendaraan mewah.
Namun, saat dilakukan oleh pejabat publik, flexing bukan hanya soal gaya hidup. Ia berubah menjadi persoalan etika, moral, dan kepercayaan publik.
Para ahli menilai bahwa perilaku seperti ini bisa menurunkan wibawa institusi dan menimbulkan kesenjangan sosial. Ketika pejabat publik menunjukkan kemewahan yang tidak sejalan dengan fungsinya sebagai pelayan masyarakat, publik akan mempertanyakan sumber dan moralitas di baliknya.¹
Jasa Agung Tidak Ada Flexing”: Sikap Tegas Kejaksaan
Jaksa Agung RI, Sanitiar Burhanuddin, menegaskan larangan bagi seluruh jajarannya untuk tidak berperilaku pamer atau memamerkan kekayaan di media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan ini bukan sekadar imbauan moral, melainkan bagian dari upaya menjaga citra dan martabat Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum.
Burhanuddin bahkan menyinggung agar para jaksa tidak flexing saat pulang kampung, sebab tindakan sederhana itu bisa menciptakan jarak sosial dan menimbulkan persepsi negatif di mata masyarakat.²
Sikap ini menjadi refleksi bahwa integritas aparatur negara tidak diukur dari kemewahan, tetapi dari kejujuran dan pengabdian terhadap publik.
Mengapa Larangan Flexing Itu Penting?
-
Menjaga Kepercayaan Publik
Perilaku pamer kekayaan dari pejabat publik bisa menimbulkan kecurigaan, bahkan menurunkan kredibilitas institusi di mata masyarakat. -
Menghindari Kesenjangan Sosial
Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, pamer gaya hidup mewah dapat memicu kecemburuan dan ketidakpercayaan sosial. -
Mencegah Potensi Penyalahgunaan Jabatan
Banyak kasus korupsi terungkap berawal dari gaya hidup mewah yang tidak wajar. Dengan menekan perilaku flexing, potensi penyimpangan bisa diminimalkan.³ -
Membangun Budaya Sederhana dan Etis
Sikap sederhana adalah bentuk nyata dari kepemimpinan yang kuat. Ketika pemimpin memberi teladan, kepercayaan publik akan tumbuh secara alami.
Tantangan di Era Media Sosial
Media sosial membuat setiap orang ingin tampil menarik dan mendapatkan validasi.
Sayangnya, di kalangan pejabat, tren ini bisa berubah menjadi jebakan.
Unggahan yang dianggap “biasa” bisa viral dan menimbulkan citra buruk, apalagi bila publik merasa pejabat tersebut hidup terlalu mewah dibandingkan dengan gaji atau jabatan yang diembannya.⁴
Karena itu, lembaga publik perlu memiliki pedoman perilaku digital dan sistem pengawasan yang ketat.
Pencegahan bukan hanya soal larangan, tapi juga edukasi etika bermedia sosial bagi semua aparatur.
Kesimpulan
Semboyan “Jasa Agung Tidak Ada Flexing” bukan sekadar slogan moral.
Ia adalah pesan etis bahwa kekuasaan harus diiringi dengan tanggung jawab, dan kehormatan sejati berasal dari pengabdian — bukan kemewahan.
Di era digital, di mana citra bisa dibangun atau dihancurkan dengan satu unggahan, kesederhanaan justru menjadi kekuatan yang paling elegan.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa arti “flexing” dalam konteks pejabat publik?
Flexing adalah perilaku memamerkan kekayaan, jabatan, atau gaya hidup mewah di ruang publik atau media sosial yang bisa menimbulkan persepsi negatif.
2. Mengapa Kejaksaan melarang flexing?
Karena hal itu dapat menurunkan kepercayaan publik, merusak wibawa lembaga, dan membuka potensi penyalahgunaan jabatan.
3. Apakah semua bentuk flexing dilarang?
Tidak semua. Namun, bagi pejabat publik, setiap bentuk pamer yang menonjolkan kemewahan bisa berdampak buruk terhadap persepsi masyarakat.
4. Bagaimana instansi menegakkan larangan flexing?
Melalui surat edaran, pembinaan etika digital, serta sanksi disiplin bagi pejabat yang melanggar.
5. Apa manfaat menjaga kesederhanaan bagi aparatur publik?
Selain menjaga wibawa, kesederhanaan memperkuat citra integritas dan memperkecil potensi konflik sosial dengan masyarakat.
Catatan Kaki (Footnote)
¹ Lihat pembahasan mengenai perilaku flexing dalam konteks sosial dan publik di berbagai studi komunikasi dan sosiologi perilaku konsumtif.
² Pernyataan resmi Jaksa Agung RI terkait larangan flexing di lingkungan Kejaksaan.
³ Catatan lembaga antikorupsi mengenai keterkaitan gaya hidup mewah dan risiko penyimpangan etika.
⁴ Analisis media dan pengamat komunikasi publik mengenai efek citra pejabat di media sosial.
Iam a master of education from one of the state universities in Yogyakarta, has a writers and travelling hobby in wordpress or blogger platform, I Have stayed at Raja Ampat and Yogyakarta City, You can Connect Me in Bingkai Berita| Belajar Internet|Travel and Kuliner